AHLIYAH DAN PEMBAGIANNYA
AHLIYAH dan PEMBAGIANNYA
Disusun / Dibuat Untuk Melengkapi Sebagian Dari Tugas Mata Kuliah Ushul
Fiqih
Oleh:
Nama : IMAM
FAUZI
NMP : 14118394
No.Urut /
Kelas : 75 / B
PROGRAM STUDI
EKONOMI SYARIAH
JURUSAN
SYARIAH / EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO
METRO
2015
Assalamualaikum Wr.Wb
Dengan memuji nama dan
mengesakan asma Allah yang telah
menganugrahi manusia akal berfikir dan segenap panca indra yang agar manusia
dapat manghayati tanda-tanda keagungan-Nya. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan nabi agung Muhammad SAW beserta seluruh keluarga
dan sahabatnya.
Penulis membuat makalah ini bertujuan untuk
mempelajari dan mengetahui ilmu tentang Ushul Fiqih yang diberikan oleh dosen mengenai Pengertian Dan
Pembagian Ahliyah. Selain bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan penulis
selanjutnya adalah untuk mengetahui pengertian ahliyah dan juga
pembagiannya.
Penulis menyadari, sebagai seorang pelajar
yang pengetahuannya tidak seberapa yang masih perlu belajar dalam penulisan
makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang positif demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi, serta berguna di
masa yang akan datang.
Besar harapan saya, mudah-mudahan makalah yang sangat
sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua orang.
Wasalamu'alaikum Wr.Wb.
DAFTAR
ISI
HALAMAN COVER ................................................................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI ..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................
A. Latar Belakang .....................................................................
B. Rumusan Masalah .................................................................
C.
Tujuan ...................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
........................................................................
A. Pengertian Ahliyah ...............................................................
B. Macam-Macam Ahliyah .......................................................
C.
Faktor Penghalang
Ahliyah...................................................
BAB III PENUTUP...................................................................................
Kesimpulan
.................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana pengertian Ahliyah?
2.
Ada
berapa macam pembagian Ahliyah?
3.
Apa faktor yang menghalangi kecakapan Ahliyah?
C.
TUJUAN
1. Mengetahui
pengertian Ahliyah.
2. Mengetahui macam-macam
Ahliyah.
3. Mengetahui faktor penghalang kecakapan
Ahliyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN AHLIYAH
Dilihat dari segi etimologi,
ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Adapun secara etimologi,
Abdul Aziz Al-Bukhari, dalam Kasyf
Al-Asrar mendefinisikan.
Suatu sifat yang dimiliki
seseorang, yang dijadikan ukuran oleh oleh syari’ (pembuat hukum) untuk menentukan seseorang telah cakap
dikenai tuntutan syara’.
Artinya, ahliyah Adalah sifat
yang menunjukan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga
seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.
Apabila seseorang telah memiliki sifat ini, ia dianggap telah sah melakukan
suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat penindahan hak kepada
orang lain. Ahli ushul fikih membagi ahliyah menjadi dua bentuk, yaitu ahliyah al-wujub dan ahliyah ada’.[1]
B.
MACAM-MACAM AHLIYAH
Berdasarkan pengertian diatas ahliyah dibagi menjadi dua
macam yaitu:
1.
Ahliyah Al-Wujub
a.
Pengertian
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah al-wujub ialah, kecakapan seseorang untuk melaksanakan
berbagai kewajiban dan menerima berbagai hak. Pada dasarnya, ditinjau dari segi
bahwa seseorang adalah makhluk Allah SWT yang berjenis manusia, semua orang,
sejak dilahirkan kedunia sampai wafat, dipandang cakap dalam melaksanakan
kewajiban dan hak. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya, manusia mengalami
fase-fase pertumbuhan dan perkembangan menuju tahap kesempurnaan relatifnya
sebagai manusia. Oleh karena itu, menurut pandangan sara’, sesuai dengan
kenyataannya, kecakapan manusia melaksanakan kewajiban dan menerima hak juga
bertingkat-tingkat. Dalam hal ini, ulama ushul fiqih menguraikannya dalam dua
tingkatan.[2]
b.
Tingkatan Ahliyah Al-Wujub
1)
Ahliyah Al-Wujub Al-Qashirah (kecakapan melaksanakan
kewajiban secara tidak sempurna)
Ada pula yang mangatakan ahliyah al-wujub naqish atau
kecakapan hukum secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima
hak, tetapi tidak menerima kewajiban; atau kacakapan untuk dikenai kewajiban
tetapi tidak pantas menerima hak.[3]
Sifat lemah pada kecakapan ini disebabkan oleh karena hanya salah satu
kecakapan pada dirinya diantara kedua kecakapan yang harus ada padanya.
Contoh yang
menerima hak tertentu tetapi tidak menerima kewajiban apapun ialah, janin dalam
kandungan. Janin dipandang cakap dalam menerima hak tertentu, seperti : warisan
dan wasiat. Hak tersebut menjadi haknya yang nyata, apabila janin dilahirkan
dalam keadaan hidup. Akan tetapi, janin tidak dibebani kewajiban apapun, karena
ia tidak cakap memikul kewajiban.
sebaliknya, contoh yang hanya dikenai kewajiban tertentu
tetapi tidak diberikan hak apapun ialah, orang yang telah wafat. Orang yang
sudah wafat dipandang tidak cakap untuk menerima hak karena kewafatannya,
tetapi ia dikenai kewajiban membayar hutang semasa hidupnya. Tentu saja
kewajiban membayar hutang tersebut hanya diambil dari harta warisan yang
ditinggalkannya.
Ulama ushul fikih menetapkan ada empat hak janin yang
masih dalam kandungan ibunya, yaitu:
1.
Hak keturunan dari ayahnya,
2.
Hak waris dari ahli warisnya yang meninggal dunia,
3.
Wasiat yang ditujukan kepadanya,
4.
Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.[4]
2)
Ahliyah Al-Wujub Al-Kamilah (kecakapan melaksanakan
kewajiban secara sempurna)
Ahliyah al-wujub kamilah adalah kecakapan seseorang
untuk dikenai kewajiban dan juga menerima hak. Adanya sifat sempurna dalam
bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya sekaligus. Kecakapan ini
berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas. Ada pada anak-anak, ada pada orang yang telah
mumayiz, dan ada pada orang yang telah baligh. Ada dalam perkembangan hidup,
seperti yang telah dikemukakan diatas bahwasanya tidak ada orang yang tidak
mempunyai keahlian wujub.[5]
Contohnya ialah,
seorang bayi. Bayi dipandang cakap menerima hak karena dia sudah lahir kealam
dunia ini. Hak seorang bayi seperti halnya Hak menerima harta warisan dari
pewarisnya. Serta dipandang cakap menerima kewajiban tertentu, seperti:
kewajiban zakat fitrah, dan kewajiban zakat atas hartanya, menurut sebagian
ulama.begitu juga orang yang sedang menghadapi kematian (sakrat al-maut). Meskipun berada dipenghujung hidupnya, namun
karena ia masih hidup, maka selain dikenai zakat fitrah dan zakat atas
hartanya, ia juga menerima hak atas warisan sebagai ahli waris dari pewarisnya
yang lebih dahulu wafat darinya.[6]
2.
Ahliyah Al-Ada’
a.
Pengertian Ahliyah Al-Ada’
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah al-ada’ ialah kecakapan untuk bertindak secara hukum atau
memikul beban taklif. Dengan adanya
kecakapan seperti itu seseorang disebut mukalaf, artinya segala perbuatannya
segala perintah dan menjauhi larangan.[7]
Dalam hal ini bararti segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau
perbuatan mempunyai akibat hukum. Dalam bentuk ucapan misalnya, ia melakukan
suatu transaksi atau akad. Transaksi atau akadnya itu telah dianggap sah dengan
segala akibat hukumnya. Contoh lainnya ialah bila ia membebaskan seseorang dari
hutang dengan lisannya, secara hukum orang yang dibebaskan dari hutang tadi
sudah tidak menanggung beban hutang lagi. Sedangkan contoh dalam perbuatan
yaitu sholat.
b.
Tingkatan Ahliyah Al-Ada’
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyah al ada’ terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini
dikaitkan dengan batas umur seorang manusia.[8]
Ketiga tingkatan tersebut adalah:
1)
‘Adim Al-Ahliyah
Adapun yang dimaksud dengan ‘adim al-ahliyah yaitu: yang sama sekali tidak memiliki kecakapan
bertindak secara hukum. Mereka ini adalah manusia yang berusia baru lahir
sampai umur kira-kira 7 tahun.
Dalam batas umur ini, seorang anak belum sempurna akalnya
atau belum berakal. Sedangkan taklif itu
dikaitkan dengan berakal. Karena itu anak yang berusia ini belum disebut
mukalaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Ia tidak wajib melaksanakan
sholat, puasa dan kewajiban badani lainnya. Meskipun pada usia ini ia belum
disebut mukallaf, namun sebagian ulama berpendapat, harta yang dimilikinya
(mungkin bersumber dari harta warisan, hibah, dan lain-lain), dikenakan
kewajiban zakat.
Disamping ucapanya, perbuatan anak seusia ini juga tidak
mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang dilakukan tidak sah dan tidak
mempunyai akibat hukum. Ucapan-ucapan pembebasan dan ucapan lain yang diucapkan
tidak memiliki akibat hukum atau tidak sah. Semua tindakan pelanggaran atau
kejahatan yang dilakukan tidak dapat dituntut secara badani. Untuk menutupi
kerugian pihak lain yang menjadi korban, kejahatannya dibebankan kepada
hartanya atau harta orang tuanya.
2)
Ahliyah Al-Ada’ Naqishah
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah al-ada’ naqishah ialah, yang memiliki akal yang belum
sempurna, yaitu berusia antara 7 tahun sampai usia dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini karena
akalnya masih lemah belum sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam
hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian
lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau
perbuatannya, terbagi menjadi tiga tingkatan; dan setiap tingkat memiliki
akibat hukum sendiri-sendiri, yaitu:
a)
Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya; misalnya menerima
pemberian (hibah) dan wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam
bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan
persetujuan dari walinya.
b)
Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada
padanya; misalnya pemberian yang dilakukannya, baik baik dalam bentuk hibah
atau sedekah, pembebasan hutang, jual beli dengan harga yang tidak pantas.
Segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh
mumayyiz dalam bentuk ini tidak sah
dan tidak berakibat hukum atau batal, karena tidak disetujui oleh walinya.
c)
Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Misalnya, jual beli, sewa
menyewa, upah mengupah dan lainnya yang di satu pihak mengurangi haknya dan di
pihak lain menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukan dalam bentuk
seperti ini tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesahaannya tergantung kepada
persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
Tindakan mumayyiz dalam hubungannya dengan ibadah adalah sah
karena ia cakap dalam melakukan ibadah, tetapi ia belum dituntut secara pasti
karena ia belum dewasa. Dalm masa ini orang tuanya harus mendidik dan
membiasakannya untuk melaksanakan ibadah badaniah. Adapun tindakan kejahatan
yang dilakukan yang merugikan orang lain, ia dituntut dan dikenai snksi hukuman
berupa ganti rugi dalam bentuk harta dan tidak dihukum an badan. Karena itu
tidak berlaku padanya qishas pembunuhan, dera atau rajam pada perzinahan, ayau
potong tangan pada pencurian. Ia hanya dapat menanggung diyat pembunuhan atau ta’zir yang
dibebankan kepada hartana atau harta orang tuanya.[9]
3)
Ahliyah Al-Ada’ Kamilah
Adapun yang
dimaksud dengan ahliyah al-ada’ kamilah ialah Seseorang yang telah memiliki akal yang
sempurna, yaitu yang telah mencapai usia dewasa, sehingga dipandang telah
mukallaf, sebagai mana yang telah dikemukakan sebelumnya.[10]
Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqih ditentukan dengan
tanda-tanda yang bersifat jasmani, yaitu bagi wanita telah mulai haid atau mens
dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini
didasarkan pada petunjuk al-quran, yaitu sampai mencapai usia perkawinan atau
umur yang pada waktu itu memungkinkan untuk melangsungkan perkawinan. Tanda
dewasa yaitu haid bagi wanita dan mimpi bersetubuh bagi laki-laki adalah tanda
seorang sudah dapat melakukan perkawinan.
Dalam keadaan tidak terdapat atau sukar diketahui tanda
yang bersifat jasmani tersebut, diambil patokan umur yang dalam pembatasan ini
terdapat perbedaan pendapat antara ulama fikih. Menurut jumhur ulama, umur
dewasa itu adalah 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan, menurut Abu Hanifah,
umur dewasa itu adalah 18 tahun, sedangkan bagi perempuan adalah 17 tahun. Bila
seseorang tidak mencapai umur tersebut, maka belum berlaku padanya beban hukum
dan takli.
C.
Faktor-Faktor Penghalang Kecakapan Bertindak Secara Hukum (‘Awaridh Al-Ahliyah)
Meskipun sejak lahirnya, seseorang telah memiliki
kecakapan menerima kewajiban dan hak (ahl
li al-wujub), dan sejak dewasa dari segi usia dan akalnya, memiliki
kecakapan untuk bertindak secara hukum (ahl
li al-ada), namun terkadang pada waktu tertentu terdapat faktor-faktor yang
menghalanginya untuk dapat dipandang cakap bertindak secara hukum.
Faktor-faktor penghalang tersebut ada yang berasal dari dalam dirinya, dan ada
pula yang berasal dari luar dirinya. Faktor-faktor penghalang itu disebut
dengan istilah ‘awarid al-ahliyah (penegasi-penegasi
kecakapan) atau mawani at-taklif (penghalang-penghalang
taklif).
Faktor-faktor penghalang taklif itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-awaridh as-samawiyyah dan al-awaridh al-muktasabah.
a.
Al-awaridh as-samawiyyah
Adapun yang dimaksud dengan al-awaridh as-samawiyyah ialah, halangan kecakapan bertindak secara
hukum yang timbul dari luar diri seseorang yang bukan merupakan akibat dari
kehendak dan perbuatannya. Halangan ini terdiri atas beberapa macam, diantaranya
sebagai berikut:
1)
Usia kanak-kanak
2)
Lemah akal (al-atah)
3)
Sakit (al-maradh)
4)
Haid dan nifas
5)
Mati (al-maut)
6)
Bodoh (as-safah)
b.
Al-awaridh al-muktasabah
Adapun yang dimaksud dengan al-mawaridh al-muktasabah ialah, ialah halangan kecakapan bertindak
secara hukum yang timbul dari dalam diri seseorang yang merupakan akibat dari
kehendak dan perbuatannya. Halangan ini terdiri atas beberapa macam,
diantaranya sebagai berikut:
1)
Gila (al-junun)
2)
Lupa (an-nisyan)
3)
Tidur (an-naum) dan pingsan (al-ighma).[11]
BAB
PENUTUP
KESIMPULAN
Ahliyah Adalah sifat yang menunjukan
seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya
dapat dinilai oleh syara’. Apabila
seseorang telah memiliki sifat ini, ia dianggap telah sah melakukan suatu
tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat penindahan hak kepada orang
lain. Ahli ushul fikih membagi ahliyah menjadi dua bentuk, yaitu ahliyah al-wujub dan ahliyah ada’.
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah
al-wujub ialah, kecakapan seseorang untuk melaksanakan berbagai kewajiban
dan menerima berbagai hak. Sebagian ulama fikih membagi ahliyah al-wujub menjadi dua bagian.
1.
Ahliyah Al-Wujub Al-Qashirah (kecakapan melaksanakan
kewajiban secara tidak sempurna)
2.
Ahliyah Al-Wujub Al-Kamilah (kecakapan melaksanakan
kewajiban secara sempurna.
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah al-ada’ ialah kecakapan untuk bertindak secara hukum atau
memikul beban taklif. Kecakapan
berbuat hukum atau ahliyah al ada’
terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan dengan batas umur
seorang manusia. Ketiga tingkatan
tersebut adalah:
1.
‘Adim Al-Ahliyah
2.
Ahliyah Al-Ada’ Naqishah
3.
Ahliyah Al-Ada’ Kamilah.
DAFTAR PUSTAKA
Abd.Rahman Dahlan, Ushul
Fiqh, Jakarta. Amzah, 2011
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fikih, Cet-Ke 6, Jakarta. Rineka Cipta, 2012
Amir Syarifudin, Ushul
Fiqh, Jild 1, Jakarta. Logos Wacana Ilmu, 2000
Satria Effendi, Ushul
Fiqh, Cet- 5, Jakarta. Kencana, 2014
Totok Jumantoro. Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta. Amzah, 2009
trimakasih bapak
ReplyDelete