MAKALAH RUANG LINGKUP PEGADAIAN SYARIAH

MAKALAH RUANG LINGKUP PEGADAIAN SYARIAH


KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah swt. Karena atas rahmat-Nya dalam kesempatan yang berbahagia ini kita masih diberi nikmat dan karunia oleh-Nya. Di dalam pembahasan makalah ini bertajuk seperti yang tertera dicover, dengan itu kami berfokus dalam materi seperti yang akan kita bahas nanti.
Makalah yang tersusun ini sebagai tugas mata kuliah Asuransi dan Pegadaian Syariah, dengan berbekal apa yang ada dalam buku pembahasan yang telah kami ambil dari beberapa sumber. Selanjutnya kami banyak berterima kasih kepada Ibu Nyimas Lidya Putri Pertiwi, S.H., M.Sy sebagai dosen pengampu mata kuliah Asuransi dan Pegadaian Syariah, dan juga kepada rekan-rekan semuanya yang telah ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Selanjutnya kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini bukanlah sesuatu yang terjadi begitu sempurna, masih banyak kekurangan yang memang itu adalah dari kami sendiri, harapan kami rekan-rekan untuk memberikan kritikan atau saran yang bersifat membangun. Akhirnya kami ucapkan terimakasih.
WassalamualaikumWr. Wb


Metro, 15 April 2017


Penyusun






DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan 1

BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Pegadaian Syariah 3
Dasar Hukum Pegadaian Syariah 4
Rukun Pegadaian Syariah 5
Syarat Sah Pegadaian Syariah 6
Hak dan Kewajiban Para Pihak Pegadaian Syariah 6

BAB III PENUTUP
Kesimpulan 9

DAFTAR PUSTAKA
 BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini masih ada kesan dalam masyarakat, kalau seseorang pergi ke pegadaian untuk menjamin sejumlah uang dengan cara menggadaikan barang, adalah aib dan seolah kehidupan orang tersebut sudah sangat menderita. Karena itu banyak diantara masyarakat yang malu menggunakan fasilitas penggadaian. Lain halnya jika kita pergi ke sebuah Bank, di sana akan terlihat lebih prestisius, walaupun dalam prosesnya memerlukan waktu yang relatif lebih lama dengan persyaratan yang cukup rumit.
Bersamaan dengan berdirinya dan berkembangnya bank, BMT, dan asuransi yang berdasarkan prinsip syariah di Indonesia, maka hal yang mengilhami dibentuknya pegadaian syariah atau rahn lebih dikenal sebagai produk yang ditawarkan oleh Bank Syariah, dimana Bank menawarkan kepada masyarakat dalam bentuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga keuangan yang mandiri yang berdasarkan prinsip syariah. Adapun dalam makalah ini akan dijelaskan secara lengkap mengenai pegadaian syariah.

Rumusan Masalah
Apa pengertian Pegadaian Syariah?
Bagaimana Dasar Hukum Pegadaian Syariah?
Apa Rukun Pengadaian Syariah?
Bagaimana Syarat Sah Pegadaian Syariah?
Bagaimana Hak dan Kewajiban Para Pihak Pegadaian Syariah?

Tujuan
Untuk mengetahui pengertian Pegadaian Syariah.
Untuk mengetahui bagaimana Dasar Hukum Syariah.
Untuk mengetahui apa rukun Pegadaian Syariah.
Untuk mengetahui bagaimana Syarat Sah Pegadaian Syariah.
Untuk mengetahui bagaimana Hak dan Kewajiban Pihak Pegadaian Syariah.

BAB II
PEMBAHASAN


Pengertian Pegadaian Syariah
Gadai dalam bahasa Arab disebut rahn, yang berarti tetap, kekal, dan jaminan. Secara syara, rahn adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. Menurut Abdul Ghofur Rahn secara syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan ditarik kembali. Rahn juga bisa diartikan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutangnya semuanya atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad berupa menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya.
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berhutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Konsep tersebut dalam fiqh Islam dikenal  dengan istilah rahn atau gadai.
Dapat dipahami bahwa pengertian gadai (rahn) yaitu menahan salah satu harta dari si peminjam yang diperlakukan sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Dalam gadai syariah ini, barang yang ditahan mempunyai nilai ekonomis dan pihak yang menahan akan memperoleh jaminan utuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

Dasar Hukum Pegadaian Syariah
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada Q.S Al Baqarah (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai. Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn. Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang mewakilinya.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam akad rahn.
Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Qur’an dan al-Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk menggunakan akad rahn.
Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rusdy bahwa mazhab Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.

Rukun Pegadaian Syariah
Ada 4 macam rukun gadai, yaitu :
Shigat (lafadz ijab dan qobul)
Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima gadai (murtahin).
Harta yang dijadikan hutang atau barang jaminan  (marhun)
Hutang (marhun bih)






Syarat Sah Gadai
Syarata Sah Gadai diantaranya yaitu:
Shigat
Shigat adalah ucapan berupa ijab dan qabul. Syarat shigat  tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang akan datang. Misalnya; rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhunbih habis dan marhunbih belum terbayar, maka rahin dapat diperpanjang satu bulan. Kecuali jika syarat tersebut mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan seperti pihak murtahin minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang.
Orang yang berakad
Pihak yang berakad harus memiliki kecakapan dalam melakukan tindakan hukum, berakal sehat, sudah baligh, serta mampu melaksanakan akad.
Barang yang dijadikan pinjaman (Marhun Bih)
Harus berupa barang atau harta yang nilainya seimbang dengan utang serta dapat dijual.
Dapat dimanfaatkan serta memiliki nilai.
Harus spesifik dan jelas.
Dimiliki oleh orang yang menggadaikan secara sah.
Tidak tersebar dalam beberapa tempat dan dalam kondisi utuh.
Hutang (Marhun)
Wajib dikembalikan kepada murtahin (yang menerima gadai).
Dapat dimanfaatkan.
Jumlahnya dapat dihitung.

Hak dan Kewajiban Para Pihak Gadai
Hak dan kewajiban pihak penerima gadai (murtahin)
Hak Murtahin (Penerima Gadai):
Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan barang dagai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.
Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).

Adapun kewajiban penerima gadai (murtahin) adalah:
Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaianya.
Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sendiri.
Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.

Hak dan Kewajiban Rahin (pemberi gadai)
Hak pemberi gadai (rahin) :
Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang gadai, setelah ia melunasi pinjaman.
Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan yang hilangnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan kelalaian penerima gadai.
Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
Pemberi gadai berhak meminta kembali barang gadai apabila penerima gadai diketahui menyalahgunakan barang gadai.



Kewajiban pemberi gadai (rahin)
Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidk dapat melunasi pinjamannya.























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa gadai (rahn) yaitu menahan salah satu harta dari si peminjam yang diperlakukan sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Dalam gadai syariah ini, barang yang ditahan mempunyai nilai ekonomis dan pihak yang menahan akan memperoleh jaminan utuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Selain itu, Gadai (rahn) merupakan akad sebuah kepercayaan dengan cara menjadikan sesuatu sebagai barang jaminan atas utang yang harus dibayarnya. Dan apabila utang pada waktunya tidak terbayar, maka barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual untuk membayar utangnya.
Adapun dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai. Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.











DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin. 2008. Hukum Gadai Syariah, Jakarta: Sinar Grafika.

Anshori Abdul Ghofur. 2009. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Firdaus, Muhammad. 2005. Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah kontemporer, Jakarta: Renaisan.

http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-pegadaian-syariah/

Mulazid, Ade Sofyan. 2012. Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah Dalam Siatem Hukum Nasional Di Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama RI.

Rais, Sasli. 2005. Pegadaian Syariah, Jakarta: Press.

Comments

Popular posts from this blog

AHLIYAH DAN PEMBAGIANNYA

Makalah ENTERPRISE RESOURCE PLANNING (ERP)

13 tokoh pendiri pmii dan sejarah singkat pmii